Orang bilang pendidikan adalah mahal, setelah lulus sekolah tidak mungkin menjadi pegawai, dapat gaji, menjadi guru dan dosen. Tindakan yang diambil oleh masyrakat, terutama di pedesaan adalah memilih kerja dari pada pendidikan. Realita banyak terjadi anak yang semestinya masih berada dalam dunia pendidikan justru bekerja yang masih belum mampuh secara fisik.
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan lebih sama dengan kebutuhan akan rumah, sandang, dan pangan.
Bahkan bagi sebuah keluarga yang menaruh pendidikan sebagai kebutuhan utama, mereka rela mengurangi kualitas rumah, pakaian, bahkan makanan demi memenuhi pendidikan anak-anaknya. Karena itu, dengan adanya pendidikan seseorang yang pada awalnya tidak mengetahui apa-apa menjadi mengetahui segala hal.
Selalu dinantikan semua orang yang haus akan ilmu. Tapi, ternyata tidak semua orang bisa mendapatkannya. Karenanya keinginan belajar yang tak terbendung, membuat jiwa yang haus ilmu harus berpikir kreatif di tengah ruang sempit yang ada. Bukan rahasia umum lagi bahwa pendidikan menjadi mahal salah satunya biaya yang menguras kantong.
Kondisi ideal, dimana keluarga sudah memiliki perencanaan dan persiapan biaya pendidikan yang baik tentulah hal ini bukan masalah. Tapi bagi seorang keluarga kecil yang berpenghasilan pas-pasan, keinginan anaknya untuk kuliah merupakan sebuah permintaan yang membuat hati orang tua gentar. Alhasil, banyak orang tua yang kemudian mesti berutang demi meluluskan anaknya untuk tetap sekolah.
Mencerdaskan bangsa adalah kewajiban negara, yang berkhianat dialah yang menggunaan pendidikan untuk kepentingan kekuasaan. Guru sebagai pendesain intelektual peserta didik, justru diimplementasikan sebagai retorika dan bayangan belaka memprofesionalkan pendidik.
Meningkatkan mutu pendidikan dan mewujudkan pendidikan yang humanisasi, salah satunya bisa dilihat dari kemampuan dan kompetensi guru/pendidik mengarahkan dan membimbing anak didik lebih kreatif. Sebagaimana diamantkan Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 adalah tanda guru profosional, memiliki kompetensi profesional.
Sebagai pendidik, dituntut untuk bertanggungjawab kepada siswa selama mengenyam pendidikan. Tidak cukup bergulir pada tataran peningkatan kemampuan konpetensi bidang studi tertentu. Seperti Ujian Nasional yang hanya melihat dari sisi kognitifnya.
Lalu bagaimana guru menyikapi problem pendidikan yang bekepanjangan. Apakah sebagai guru, hanya menunggu masalah yang harus diatasi? Sebab, tanggung jawabnya adalah mampu menguasai metode pembelajaran secara professional, meningkatkan kualitas dan syarat sebagai guru.
Memperhatikan kebutuhan anak didik, yang salah satunya mengembalikan guru sebagai “pelayan” mengayomi, memberikan motifasi dan mengarahkan lebih produktif. Tetapi mengaktualisasikan profesinya sehingga siswa merasa dituntut giat belajar.
Persoalan, seperti guru datang hanya memberikan tugas pekerjaan rumah (PR). Sementara, ketika guru hanya masuk kemudian memberikan tugas, mengisi absen. Ironisnya dan tuntutan terhadap siswa “rajin” belajar di rumah.
Jika itu terjadi, bagaimana nasip pendidikan kita di indonesia, nasib siswa. Benarka sikap seperti ini layak menyandang predikat sebagai “guru” atau “pendidik”?
Jadi, bukan hanya anak didik dituntut untuk belajar di rumah ”mengerjakan PR”, guru pun harus belajar. Anak didik yang dituntut belajar dan berkualitas, ketika ini terjadi, maka jangan salahkan jika ada anak didik malas belajar, sering bolos (malas belajar). Boleh dikata murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung".
Misalnya, apabila bagi guru yang selalu memperhatikan nasip anak asuhnya. Lagi pula, guru yang baik (umpanya) dipidah ke sekolah lain oleh pihak sekolah. Maka tangis dan tetesan air mata siswa dan orang tua siswa mengiringi, karena telah kehilangan orang (pendidik) yang dipercayainya.
Sirikit Syah ketua Klub Guru Jatim, menemukan sebuah data. Portal www.duniaguru.com Desember 2007. lalu jajak pendapat dengan sebuah pertanyaan yang unik, “jika anda seorang guru dan diberi kesempatan untuk ganti profesi maukah anda?”. Terdapat jawaban para guru yang memilih profesi guru (55,8%), sebagai guru mencari tambahan penghasilan (27,9%), ganti profesi (15,4%), bingung (1%).
Dari jajak pendapat di atas, masih 80% memilih menjadi ingin tetap pada posisi profesinya. Tentu ini membuat angin segar terhadap dunia pendidikan. Karena, selama ini sulit kita menemukan dan merasa bosan, malas menjadi seorang pendidik atau guru (Surya,5/01/08).
Untuk mengurangi mencuatnya problem yang berepanjangan di dunia pendidikan, diperlukan kerjasama antara guru dengan orang tua siswa. Sebab, bagaimanapun tidak guru adalah mediator transfer ilmu pengetahuan, agar pendidikan bisa memberikan warna hijau pada kualitas lulusan diberbagai jenjang pendidikan.
Dengan demikian, salah satunya tindakan utama adalah peningkatan terhadap kesejahteraan guru dan fasilitas (sarana dan prasarana). Bukannya, terfokus terhadap gedung mewah-megah, tetapi kebersamaan kita tingkatkan. Demikian pula, sarana kelengkapan media pembelajaran juga demikian.
Lalu, bagaimana respon pemerintah terhadap nasib pendidikan ke depan, tentu ini merupakan tanggungjawab pemerintah secara umum. Tetapi guru, masyarakat juga tidak lepas dari peran dan ikut serta tanggung jawab bersama.
Kita tidak dapat tutup mata, terhadap pencapaian sebuah pendidikan gratis (tanpa biaya) di Provensi Papua mulai sejak 2002/2003, mulai tingkat TK sampai SLTA baik negeri atau swasta, kabupaten Sinjai di Sulawisi mulai tingkat SD/MI,SLTP/MTs mulai tahun 2005 bahkan sampai Ujian Nasional. Lagi pula orang tua siswa tidak lagi dibebani biaya pendidikan.
Dengan ketertinggalan mutu pendidikan di Indonesia, kita bergerak bersama menunjukkan kepedulian terhadap nasib pendidikan kita. Sebagai bahan kontemplasi bagi kita, “jadikan pendidikan sebagai budaya bangsa Indonesia yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara”. Semoga menjadi pendidikan yang “Rahmatal lil’alamin”. Wallahu a’lam.
Kondisi ideal, dimana keluarga sudah memiliki perencanaan dan persiapan biaya pendidikan yang baik tentulah hal ini bukan masalah. Tapi bagi seorang keluarga kecil yang berpenghasilan pas-pasan, keinginan anaknya untuk kuliah merupakan sebuah permintaan yang membuat hati orang tua gentar. Alhasil, banyak orang tua yang kemudian mesti berutang demi meluluskan anaknya untuk tetap sekolah.
Mencerdaskan bangsa adalah kewajiban negara, yang berkhianat dialah yang menggunaan pendidikan untuk kepentingan kekuasaan. Guru sebagai pendesain intelektual peserta didik, justru diimplementasikan sebagai retorika dan bayangan belaka memprofesionalkan pendidik.
Meningkatkan mutu pendidikan dan mewujudkan pendidikan yang humanisasi, salah satunya bisa dilihat dari kemampuan dan kompetensi guru/pendidik mengarahkan dan membimbing anak didik lebih kreatif. Sebagaimana diamantkan Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 adalah tanda guru profosional, memiliki kompetensi profesional.
Sebagai pendidik, dituntut untuk bertanggungjawab kepada siswa selama mengenyam pendidikan. Tidak cukup bergulir pada tataran peningkatan kemampuan konpetensi bidang studi tertentu. Seperti Ujian Nasional yang hanya melihat dari sisi kognitifnya.
Lalu bagaimana guru menyikapi problem pendidikan yang bekepanjangan. Apakah sebagai guru, hanya menunggu masalah yang harus diatasi? Sebab, tanggung jawabnya adalah mampu menguasai metode pembelajaran secara professional, meningkatkan kualitas dan syarat sebagai guru.
Memperhatikan kebutuhan anak didik, yang salah satunya mengembalikan guru sebagai “pelayan” mengayomi, memberikan motifasi dan mengarahkan lebih produktif. Tetapi mengaktualisasikan profesinya sehingga siswa merasa dituntut giat belajar.
Persoalan, seperti guru datang hanya memberikan tugas pekerjaan rumah (PR). Sementara, ketika guru hanya masuk kemudian memberikan tugas, mengisi absen. Ironisnya dan tuntutan terhadap siswa “rajin” belajar di rumah.
Jika itu terjadi, bagaimana nasip pendidikan kita di indonesia, nasib siswa. Benarka sikap seperti ini layak menyandang predikat sebagai “guru” atau “pendidik”?
Jadi, bukan hanya anak didik dituntut untuk belajar di rumah ”mengerjakan PR”, guru pun harus belajar. Anak didik yang dituntut belajar dan berkualitas, ketika ini terjadi, maka jangan salahkan jika ada anak didik malas belajar, sering bolos (malas belajar). Boleh dikata murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung".
Misalnya, apabila bagi guru yang selalu memperhatikan nasip anak asuhnya. Lagi pula, guru yang baik (umpanya) dipidah ke sekolah lain oleh pihak sekolah. Maka tangis dan tetesan air mata siswa dan orang tua siswa mengiringi, karena telah kehilangan orang (pendidik) yang dipercayainya.
Sirikit Syah ketua Klub Guru Jatim, menemukan sebuah data. Portal www.duniaguru.com Desember 2007. lalu jajak pendapat dengan sebuah pertanyaan yang unik, “jika anda seorang guru dan diberi kesempatan untuk ganti profesi maukah anda?”. Terdapat jawaban para guru yang memilih profesi guru (55,8%), sebagai guru mencari tambahan penghasilan (27,9%), ganti profesi (15,4%), bingung (1%).
Dari jajak pendapat di atas, masih 80% memilih menjadi ingin tetap pada posisi profesinya. Tentu ini membuat angin segar terhadap dunia pendidikan. Karena, selama ini sulit kita menemukan dan merasa bosan, malas menjadi seorang pendidik atau guru (Surya,5/01/08).
Untuk mengurangi mencuatnya problem yang berepanjangan di dunia pendidikan, diperlukan kerjasama antara guru dengan orang tua siswa. Sebab, bagaimanapun tidak guru adalah mediator transfer ilmu pengetahuan, agar pendidikan bisa memberikan warna hijau pada kualitas lulusan diberbagai jenjang pendidikan.
Dengan demikian, salah satunya tindakan utama adalah peningkatan terhadap kesejahteraan guru dan fasilitas (sarana dan prasarana). Bukannya, terfokus terhadap gedung mewah-megah, tetapi kebersamaan kita tingkatkan. Demikian pula, sarana kelengkapan media pembelajaran juga demikian.
Lalu, bagaimana respon pemerintah terhadap nasib pendidikan ke depan, tentu ini merupakan tanggungjawab pemerintah secara umum. Tetapi guru, masyarakat juga tidak lepas dari peran dan ikut serta tanggung jawab bersama.
Kita tidak dapat tutup mata, terhadap pencapaian sebuah pendidikan gratis (tanpa biaya) di Provensi Papua mulai sejak 2002/2003, mulai tingkat TK sampai SLTA baik negeri atau swasta, kabupaten Sinjai di Sulawisi mulai tingkat SD/MI,SLTP/MTs mulai tahun 2005 bahkan sampai Ujian Nasional. Lagi pula orang tua siswa tidak lagi dibebani biaya pendidikan.
Dengan ketertinggalan mutu pendidikan di Indonesia, kita bergerak bersama menunjukkan kepedulian terhadap nasib pendidikan kita. Sebagai bahan kontemplasi bagi kita, “jadikan pendidikan sebagai budaya bangsa Indonesia yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara”. Semoga menjadi pendidikan yang “Rahmatal lil’alamin”. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar