Bahan yang dirancang dalam tubuh pendidikan, terdapat hal yang mendasar adalah membebaskan manusia hidup bodoh dan kemiskinan (humanizing human being). Sedangkan pembebasan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, terletak pada pendidikan mereka. Dengan berbekal pendidikan, mereka dapat membuahkan terhadap dirinya secara nyata. Maka, dengan bekal pendidikan terarahdan dapat melestarikan hidup nyaman dan tentram.
Ketika melihat kebijakan pendidikan terjadi dua pertentangan. Kebijakan pendidikan tidak bisa merumuskan gagasan hakekat pendidikan yang sifatnya sebagai baru dan pembaharu. Pendidikan bukan pemerdekakan pembebasan manusia dari keterkurungan kehendak nurani, melainkan berbalik makna.
Semestinya pendidikan melihat masadepan bangsa, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran dapat sedikit ditekan. Melestarikan terhadap peningkatan pendidikan diperlukan saran dan kritik bagi dunia pendidikan juga sebagai bahan evaluasi. Maka, sangatlah dibutuhkan, sebab bagaimanapun setiap persoalan, tanpa adanya kritik dan saran, mustahil menemukan formasi yang baik.
Banyak orang menganggap, pendidikan sebagai mekanisme men-disiplin-kan dan memposisikan yang potensial, mendorong hidup hemat, sederhana dan menghapuskan kemiskinan. Namun, problem pendidikan mengakarnya kepentingan dan kesejahteraan sebagian besar terabaikan oleh pemerintah. Artinya, tidak mempertimbangkan kepentingan pendidikan atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Salah satu boleh dikata, pemerintah telah mewariskan versi pendidikan tidak berguna. Walaupun yang menjadi acuan adalah undang-undang. Sebagaimana amanah UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 29 menyebutkan, “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)”.
Amanah pembukann UUD 1945 (2) sesuai pasal 57 ayat 1 dan pasal 1 ayat (17), sudahkan pemantauan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut standar kebutuhan siswa dari aspek sarana dan prasarana pendidikan, penerimaan arus informasi dan buku.
Dari versi kebijakan pendidikan di atas, belum terealisasikan secara merata. Contoh kongkritnya, sekolah/madrasah yang ada di pedesan masih kurang diperhatikan dan kurangnya fasilitas yang menunjang. Ketika ini terjadi, bagaimana ketika melihat nasib pendidikan jika undang-undang di atas terabaikan dan tidak direalisasikan dengan baik? Sebenarnya bentuk atau versi seperti apa yang diingingkan?
Sangat beralasan jika pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan secara umum, rasional bila dicap telah mewariskan versi peraturan yang mengarah terhadap kepentingan pribadi. Realitas berbicara, banyak kita temukan berbagai kasus penyunatan (eyebrow) dan kesepakatan antar lembaga, bahkan antara Diknas-Depag dengan lembaga. Baik pemalsuan data, pemaksaan membeli buku paket yang disediakan lembaga.
Bercermin terhadap kasus pelaksanaan Ujian Nasional (UN), penetapan angka kelulusan bagi siswa dengan standart nilai tidak masnusiawi dan tidak relefan apalagi materi UN ditambah. Sebab, ini menambah beban psikologis, ironisnya lembaga untuk memenuhi target nilai tersebut, membentuk tim sukses (TS – fersi pilpres, pilgub dll), apalagi masi banyak persoalan dalam pelaksanaan UN.
Wajar, jika terjadi pembentukan TS untuk membantu, sebab, penentuan kelulusan hanya berjalan satu arah. Sehingga, pendidik tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya. Sebab, kemampuan siswa (life skill) hanya pendidik tahu terhadap perkembangan peserta didik.
Kembali terhadap kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan, secara merata, masih belum terealisasikan. Sebagian lembaga masih banyak yang memperihatinkan, baik dari segi sarana dan prasana. Sehingga, menyebabkan mutu pendidikan yang akan dibingkai secara matang untuk ditingkatkan banyak kendala.
Sekarang, penyelenggaraan pendidikan dilakuakan secara sentralistik, sehingga sekolah secara historis sebagai penyelenggara masih tergantung kepada keputusan berokrasi tidak manusiawi. Kadang-kadang kebijakan tersebut tidak sesuai dengan lembaga pendidikan setempat. Maka, sekolah mulai kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk meningkatkan dan mengembangkan lembaganya secara mandiri, termasuk meningkatkan mutu pendidikan yang berstandar nasional – internasional.
Selama ini, peningkatan mutu pendidikan hanya melihat dari hasil evalusi akhir (ujian nasional) dan penerapan pendekatan education production fuction hanya terlalu memusatkan terhadap input, dan tidak memperhatikan terhadap peroses pendidikan. Sedangkan dalam menentukan output sangat menentukan.
Bedasarkan kasus, kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sangat perlu melibatkan semua kelompok, terkait dengan kepentingan mutu pendidikan ke depan. Melibatkan kelompok tersebut, perlu adanya pelatihan manajemin pendidikan mesyarakat terhadap sekolah (society participation managements). Sebab, untuk meningkat mutu pendidikan tanpa adannya pertisipasi serta dukungan dari masyarakat mustahil tercapai mutu pendidikan nasional.
Ketepatan, mendesain sistem penyelenggaraan pendidikan secara merata semestinya, pendidikan memposisikan sebagai tempat terhadap untuk kemandirian, keratifitas, dan memberikan pebebasan hidup dengan mandiri terhadap masyarakat. Secara umum, mampu mengaktualisasikan bahwa, pendidikan tidak pernah salah dan tidak memihak kaum tertindas (memanusiakan manusia). Semoga, kemandirian, krearifin pendidikan semakin bermakna dan teruwujud pendidikan yang rahmatal lil’alamin.
Salah satu boleh dikata, pemerintah telah mewariskan versi pendidikan tidak berguna. Walaupun yang menjadi acuan adalah undang-undang. Sebagaimana amanah UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 29 menyebutkan, “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)”.
Amanah pembukann UUD 1945 (2) sesuai pasal 57 ayat 1 dan pasal 1 ayat (17), sudahkan pemantauan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut standar kebutuhan siswa dari aspek sarana dan prasarana pendidikan, penerimaan arus informasi dan buku.
Dari versi kebijakan pendidikan di atas, belum terealisasikan secara merata. Contoh kongkritnya, sekolah/madrasah yang ada di pedesan masih kurang diperhatikan dan kurangnya fasilitas yang menunjang. Ketika ini terjadi, bagaimana ketika melihat nasib pendidikan jika undang-undang di atas terabaikan dan tidak direalisasikan dengan baik? Sebenarnya bentuk atau versi seperti apa yang diingingkan?
Sangat beralasan jika pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan secara umum, rasional bila dicap telah mewariskan versi peraturan yang mengarah terhadap kepentingan pribadi. Realitas berbicara, banyak kita temukan berbagai kasus penyunatan (eyebrow) dan kesepakatan antar lembaga, bahkan antara Diknas-Depag dengan lembaga. Baik pemalsuan data, pemaksaan membeli buku paket yang disediakan lembaga.
Bercermin terhadap kasus pelaksanaan Ujian Nasional (UN), penetapan angka kelulusan bagi siswa dengan standart nilai tidak masnusiawi dan tidak relefan apalagi materi UN ditambah. Sebab, ini menambah beban psikologis, ironisnya lembaga untuk memenuhi target nilai tersebut, membentuk tim sukses (TS – fersi pilpres, pilgub dll), apalagi masi banyak persoalan dalam pelaksanaan UN.
Wajar, jika terjadi pembentukan TS untuk membantu, sebab, penentuan kelulusan hanya berjalan satu arah. Sehingga, pendidik tidak berhak untuk menentukan lulus tidaknya. Sebab, kemampuan siswa (life skill) hanya pendidik tahu terhadap perkembangan peserta didik.
Kembali terhadap kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan, secara merata, masih belum terealisasikan. Sebagian lembaga masih banyak yang memperihatinkan, baik dari segi sarana dan prasana. Sehingga, menyebabkan mutu pendidikan yang akan dibingkai secara matang untuk ditingkatkan banyak kendala.
Sekarang, penyelenggaraan pendidikan dilakuakan secara sentralistik, sehingga sekolah secara historis sebagai penyelenggara masih tergantung kepada keputusan berokrasi tidak manusiawi. Kadang-kadang kebijakan tersebut tidak sesuai dengan lembaga pendidikan setempat. Maka, sekolah mulai kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk meningkatkan dan mengembangkan lembaganya secara mandiri, termasuk meningkatkan mutu pendidikan yang berstandar nasional – internasional.
Selama ini, peningkatan mutu pendidikan hanya melihat dari hasil evalusi akhir (ujian nasional) dan penerapan pendekatan education production fuction hanya terlalu memusatkan terhadap input, dan tidak memperhatikan terhadap peroses pendidikan. Sedangkan dalam menentukan output sangat menentukan.
Bedasarkan kasus, kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sangat perlu melibatkan semua kelompok, terkait dengan kepentingan mutu pendidikan ke depan. Melibatkan kelompok tersebut, perlu adanya pelatihan manajemin pendidikan mesyarakat terhadap sekolah (society participation managements). Sebab, untuk meningkat mutu pendidikan tanpa adannya pertisipasi serta dukungan dari masyarakat mustahil tercapai mutu pendidikan nasional.
Ketepatan, mendesain sistem penyelenggaraan pendidikan secara merata semestinya, pendidikan memposisikan sebagai tempat terhadap untuk kemandirian, keratifitas, dan memberikan pebebasan hidup dengan mandiri terhadap masyarakat. Secara umum, mampu mengaktualisasikan bahwa, pendidikan tidak pernah salah dan tidak memihak kaum tertindas (memanusiakan manusia). Semoga, kemandirian, krearifin pendidikan semakin bermakna dan teruwujud pendidikan yang rahmatal lil’alamin.
1 komentar:
Posting Komentar